Angkot Mogok

Julukan Jakarta memang kejam, mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Dan aku sudah sering melihatnya dengan mata kepalaku  sendiri. Kemarin sore pulang dari kantor, seperti biasa aku naik angkot. Di bulan Ramadhan ini, biasanya kemacetan sudah terjadi sejak pukul 3 sore. Semua orang bergegas pulang, mungkin sebelum waktu berbuka mereka sudah ingin sampai ke rumahnya masing-masing. Jalanan lebih macet daripada hari-hari biasa sebelum Ramadhan.

Walaupun bulan puasa, tidak mengubah sikap orang di jalanan. Serobot sana, serobot sini, dengan saling melirik tajam jika ada sedikit saling senggol antar kendaraan. Hmmmm….
Diantara kemacetan, tiba-tiba angkot yang aku naiki mogok. Mesinnya mati. Rupanya sang sopir menghidupkan mesinnya dengan cara menggabungkan dua kabel yang ada di belakang kursinya, dekat dengan pintu penumpang. Tampak dengan susah payah dia mencoba menghidupkan mesin angkotnya. Suara klakson yang tidak sabar sudah bersautan di belakang angkot, padahal angkotnya sudah agak minggir. Sebenarnya aku ingin sekali membantu, tapi aku tidak berani, karena keluar percikan api setiap kali dua kabel itu digabungkan. Jadi aku hanya bisa berdoa saja, semoga angkotnya bisa jalan lagi. Tapi rupanya mesin tidak mau hidup juga, malah keluar asap dari mesinnya, dan air aki yang terletak di belakang kemudi muncrat. Karena aku ga ngerti mesin, aku sama sekali tidak bisa membantu. Akhirnya aku dan 3 penumpang lainnya yang kebetulan cewek semua turun di tengah jalan. Bapak itu mendorong angkotnya ke pinggir. Tapi orang-orang yang berkendara di belakang kami, masih saja membunyikan klaksonnya. Sama sekali tidak ada yang membantu.

Rasanya ingin menangis melihat Bapak itu berusaha susah payah mengatasi angkotnya sendiri. Entahlah, mungkin aku yang lagi sensi atau aku yang emang cengeng, melihat hal seperti itu saja dah mewek. Aku hanya teringat Bapakku, yang mengkin seusia pak sopir itu. Bapakku dulu juga bekerja di jalanan, sebagai kondektur bis dan mengalami kerasnya hidup di jalan. Dan karena sering sakit-sakitan akhirnya aku dan adikku melarang Bapak bekerja di bis lagi. Alhamdulillah Allah Yang Maha Pemurah, memberi kami rizki yang aku anggap lebih dari cukup, hingga bisa membeli sawah dan tanah untuk Bapak olah di rumah, jadi Bapak sudah tidak perlu lagi bekerja di jalanan dan menjadi petani saja di rumah.
Tapi Pak Sopir itu, mungkin dia masih menggunakan angkotnya yang rusak itu untuk menghidupi keluarganya.
Karena aku tidak bisa membantunya, waktu aku turun dari angkotnya aku hanya bisa bilang ‘ Ati-ati ya Pak…’
‘Makasih ya Mbak..’begitu dia menjawabnya.
Semoga ada yang membantunya memperbaiki angkotnya, dan mesinnya bisa hidup lagi

Comments

HALAMAN PUTIH said…
Terkadang hanya keadaanlah orang masih mau berbuat seperti itu. Padahal kalau mau jujur di masa tua seharusnya sudah menikmati masa-masa tua berada di rumah dengan aktivitas yang sederha dan tak menguras energi. Namun itulah kehidupan yang akan selalu memaksa manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya denga berbagai cara.
ria haya said…
@HALAMAN PUTIH : Iya. Semoga kita bisa menikmati masa tua dg lebih baik lagi :)
Putri Omsima said…
Begitulah realita hidup, hidup itu bak roda pedati..yg penting kita harus ttp sabar dan ikhlas menjalaninya..
Damar said…
begitulah jalanan seringkali yang bicara adalah emosi.
Kasian pak Tua itu dan kenapa banyak yang tidak peduli dan berusaha membantu kesulitan orang lain
Dihas Enrico said…
jd terenyuh nii.... :'(
Rawins said…
bantuin dorong dong...
hehe
Unknown said…
alhamdulillah kami sekeluarga lebih beruntung (bersyukur).
Siswanto said…
makin bijak saja sekarang postinganmu ri... like this
ria haya said…
@Rawins : hahaha iya

@Yan : Alhamdulillah...

@Siswanto : hahaha...makasih Mas Sis. Pa kabar nich?

Popular posts from this blog

Tahukah Anda tentang Suku Sentinel ?

Kebunku

Ternyata namanya adalah Sero