KALABENDHU
KALABENDHU
SAAT ini Indonesia sedang berduka. Dalam budaya agraris yang dekat dengan alam, nasib seseorang dipersepsi masuk dalam siklus roda putar waktu yang silih-berganti. Hidup tak ubahnya roda pedati, “cakra manggilingan”, ada senang dan susah. Itu pun hanya sejenak, sekadar “mampir ngombe”, kata orang Jawa. Bila tanda-tanda alam dipercaya sebagai metafora sejarah, maka terdapat siklus yang kekal untuk semua rentetan peristiwa. Ada repetisi, pengulangan berkali-kali yang menetap, meski dengan cara yang tak sama. Tidak cuma siklus alam, siklus juga terjadi dalam sejarah. Dalam sejarah bangsa Indonesia ditandai dengan siklus 20 tahunan.
Sementara putaran zaman yang kita alami kini sedang memasuki masa senja. Orang Jawa mengatakan “wayah surup”. Menjelang senja, asar hampir usai, magrib akan tiba. Sedang berlangsung pergantian, masa transisi dari terang ke kegelapan. Kata para nabi, jangan tidur pada saat-saat menjelang sampai melewati magrib. Ia akan mengalami kebingungan kejiwaan, sebab kesadaran seseorang sedang melemah. Pada saat surup, mata kita rabun tak memiliki daya tangkap obyektif untuk membedakan cahaya dan kegelapan. Orang tidak mengerti kapan merasa bangga, kapan harus malu. Orang hampir tidak punya parameter nyaris terhadap apa pun. Tak tampak nyata yang baik dan buruk, mulia atau hina, elegan atau tak terpuji. Yang dimengerti cuma satu: menuruti selera dan kebutuhan sesaat. Begitu banyaknya orang, dari berbagai profesi dan keahlian, tetapi sedikit pun tak mengetahui bahwa sebenarnya mereka sedang “kesurupan”.
Rupanya sekarang ini mengandung paralelisme sejarah. Dalam Serat Kalatidha, setengah meratap, Ranggawarsita berujar lamat-lamat. Bahwa keadaan negara sedang merosot wibawanya, situasi telah rusak, karena keteladanan menjadi barang langka. Orang meninggalkan aturan-aturan, kaum cerdik-cendekia terbawa arus kebimbangan. Suasana mencekam, karena dunia penuh dengan kekacauan. Di zaman Kalabendhu, alam tengah menggugat kekuasaan untuk membersihkan noda-noda yang mengotorinya. Perumpamaan sang pujangga wekasan itu berujud nyata lewat drama kemanusiaan yang amat tragis bagi bangsa ini.
Tangan-tangan manusia yang tak ramah lingkungan dipercaya menjadi mantera yang secara ajaib memanggil masa-masa terkutuk untuk menyapu apa saja yang tampak. Maka, banjir, longsor, gempa dahsyat tiba bersama tsunami, dan awan panas Merapi pun melibas semua yang pongah. Sebuah teguran yang memilukan. Lalu, teguran untuk siapa? Di negeri yang tindak korupsinya tak juga bisa beranjak dari peringkat lima besar dunia, tentu sudah bisa ditebak jawabnya. Tuhan tidak tengah bermain dadu dengan nasib ribuan orang yang mati syuhada tersapu bencana.
Ada rahasia penuh misteri yang mengharuskan manusia berpikir tidak hanya dengan olah-nalar, tapi perlu merenung dengan olah-rasa. Ranggawarsita paham, sejarah bukan sekadar progresi linier, bergerak di garis lurus tanpa fluktuasi. Peringatan dari alam berupa bencana tak akan berarti apa-apa, jika kita tidak paham dan mau merenungkan maknanya sebagai teguran Allah SWT.
Dalam memandang rentetan musibah ini, semogalah kita menjadi tabah atas ujian yang diberikan oleh-Nya. Kita tidak boleh berhenti bersyukur atas nikmat yang masih diberikan oleh-Nya. Semoga yang tiada menjadi syahid di hadapan-Nya, yang ditinggalkan dilimpahkan ketabahan dan tetap di jalan lurus-Nya. Sabarlah wahai Saudara-Saudaraku, di Wasior, Mentawai dan lereng Merapi, sebab di balik semua ini pasti ada makna dan hikmah dari-Nya. Oleh sebab itu, marilah kita melakukan doa nasional sebagai wujud tobat nasional, agar bangsa ini dijauhkan dari mala-petaka yang lebih dahsyat.
HAMENGKU BUWONO X
sumber : milis Kagama
Comments
joe : hi joe, lam kenal yach...
entahlah kapan berlalunya, mari kita ambil saja hikmahnya