Kesultanan Majapahit

Kesultanan Majapahit



Dalam temuan-temuannya, Herman Sinung Janutama (HSJ) menemukan beberapa situs, artefak, dan bangunan yang mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa Majapahit merupakan sebuah kesultanan—istilah yang diterakan bagi kerajaan Islam.

Temuan tersebut di antaranya salah satu koin zaman Majapahit yang ada di ruang logam Museum Trowulan, di mana di dalam koin tersebut tertera lambang Majapahit beserta inskripsi aksara Arab bertuliskan Kalimah Thayyibah laa ilaaha ilallah, Muhammad Rasulullah. Juga di kompleks makam Islam “Bata Putih†yang terletak di Jepara, pada beberapa nisannya terdapat lambang Surya Majapahit dengan inskrispi kalimat serupa seperti yang ditemukan di koin.  

Dari beberapa temuan tersebut, HSJ mengatakan bahwa mudahlah untuk menyimpulkan bahwa Majapahit merupakan sebuah kesultanan dan dengan demikian raja-rajanya juga dapat kita sebut sebagai Sri Sultan. Alasannya, adalah tidak mungkin apabila sebuah kerajaan non-Islam mempunyai lambang kerajaan dan alat pertukaran resmi yang menyatakan simbol-simbol Islam.

Oleh karenanya, Kesultanan Demak bukanlah kerajaan Islam pertama yang ada di Jawa melainkan sekadar kelanjutan saja dari Majapahit. Mulai tahun 1466 Demak Bintara dibangun oleh Majapahit, di mana tahun pendirian Demak tersebut diabadikan dalam candra sengkala Naga Mulat Salira Wani yang terpampang di pintu utama Masjid Demak. Bukti bahwa Kesultanan Demak dibangun oleh Majapahit yaitu terdapat delapan saka warisan Majapahit di serambi Masjid Demak. Saka ini menurut HSJ dibawa sendiri oleh Prabu Brawijaya V dengan diiringi oleh dua orang putranya, yakni Pangeran Bondan Kejawan dan pangeran Bondan Surati. Di samping itu, terdapat pula lambang angkatan laut Majapahit terdapat pada ornamen di atas pintu Masjid Demak.

Islam di Nusantara
Sesungguhnya, kesimpulan yang diambil di atas hanyalah konsekuensi dari tesis yang dianut HSJ bahwa Nusantara mengalami periodisasi keislaman sejak pertama kali kedatangan Islam di Nusantara tanpa pernah mengalami intervensi masif dari agama dan budaya non-Islam seperti Hindu dan Budha yang datang dari India. Mengikuti Gerini (sejarawan) dan Prof. Jakob Sumardjo (filsuf budaya cum arkeolog), HSJ percaya bahwa orang-orang Arab yang kelak membawa Islam telah masuk pertama kali di Nusantara pada tahun 606, artinya pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup. Pada tahun tersebut orang-orang Arab masuk melalui Barus dan Taceh (sekarang Aceh) di Swarnabumi (Sumatra) utara, kemudian dari sana menyebar ke seluruh Nusantara hingga ke Cina selatan. Kemudian sekitar tahun 615 Ibnu Mas’ud (salah seorang sahabat Nabi) beserta para pengikutnya datang dan bermukim di Aceh untuk mendirikan kabilah Thoiyk.

Akhirnya pada tahun 670 berdirilah Kesultanan Islam pertama di Jawadwipa (Jawa) dengan munculnya Kalinggawangsa yang didirikan di Jepara dengan pemimpinnya Sri Ratu Sima. Berlanjut pada tahun 800, datang rombongan pelarian Timur tengah ke Aceh berjumlah sekitar 100 orang untuk kemudian membentuk Kerajaan Perlak. Demikianlah berturut-turut sejak babakan sejarah tersebut periodisasi Islam di Nusantara terus berlanjut tanpa putus sampai masa Majapahit dan diteruskan oleh Demak dan kerajaan-kerajaan Islam “resmi†lainnya. Artinya, Nusantara tidak pernah mengalami dominasi politik non-Islam (kecuali pada masa kolonial, tentu saja).

Gerak linier tanpa intervensi non-Islam melalui suksesi antarkerajaan tersebut dapat dimungkinkan karena hal ini sesungguhnya merupakan pelaksanaan dari tradisi keislaman yang dimulai oleh Ali bin Abithalib yang memindahkan pusat kepemimpinan Islam dari Madinah ke Kuffah di Persia. Tradisi pemindahan pusat kepemimpinan (gingsir kedhaton) tersebut merupakan momentum yang menjadi fondasi kosmologis purba yang selalu diupayakan untuk dianamnesekan kembali dalam rangka penyebaran prinsip rahmatan lil ‘alamin ke seluruh dunia [1]. Dalam kosakata Jawa, prinsip ini ditransliterasikan menjadi konsep kiblat papat, kalima pancerdalam konteks makrokosmos dan sedulur papat, kalima pancer dalam konteks mikrokosmos. Dalam terang tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa modus sejarah khas Nusantara itu berciri harmonis di mana berdirinya suatu kerajaan bukanlah hasil dari suatu kemenangan konfliktual seperti halnya yang terjadi di kerajaan-kerajaan Eropa, melainkan hasil dari suatu pengalihan damai.

Bahkan pada masa sebelum Islam lahir di abad ke-7 pun, Nusantara tidak pernah mengalami hinduisasi. Kerajaan-kerajaan yang eksis di Nusantara sebelum Islam lahir dikatakan menganut agama abrahamik yang disebut HSJ “Islam pra-Muhammad†[2]. Selain merujuk kepada catatan perjalanan ulama China Fa Xien/Fa Shien, klaim tersebut juga didasarkan pada beberapa petunjuk simbolis-kultural. Pertama, tapak kaki Raja Tarumanagara Purnawarman pada prasasti Tarumanagara (395-434) dan sebuah prasasti lain di Kutai, Kalimantan Timur. Tradisi menyematkan tapak kaki pada batu/prasasti tersebut merupakan simbol tradisi agama abrahamik yang dahulu kala pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kemudian tradisi itu dilanjutkan oleh Nabi Muhammad. Kedua, tradisi penyembelihan sapi yang dilakukan oleh Raja Purnawarman dan Raja Maulawarman (Kutai). Tradisi ini juga merupakan perwujudan dari tradisi agama abrahamik lainnya, yaitu memberi hadiah atau berderma. Lagipula, dengan laku tersebut juga tidaklah mungkin dikatakan keduanya merupakan Kerajaaan Hindu karena sapi adalah hewan suci-keramat yang tentu dilarang untuk disembelih.

Dalam penelitian HSJ terhadap sejarah Nusantara pada umumnya dan Majapahit pada khususnya, digunakan metodologi antropologi struktural yang mengacu kepada strukturalisme Ferdinand de Saussure. Fakta sejarah baik Majapahit maupun kerajaan-kerajaan leluhurnya dipandangnya sebagai sistem penanda (signifier system), sedangkan imperium Islam yang menjadi narasi besar dunia pada zaman itu dipandangnya sebagai sistem petanda (signified system).

Oleh karenanya, setiap artefak dan simbol yang ditemukan akan dicari maknanya dalam terang keislaman. Contohnya, tokoh dewi kesuburan Hinduisme Dewi Sri disulihmaknakan sebagai sebutan Jawa bagi Sayidah Fatimah Az Zahra, istri Ali bin Abithalib. Ada pun Bathara Wisnu dimaknai sebagai Rasulullah dan Sri Bathara Kresna sebagai Nabi Muhammad. Sementara itu, candi-candi yang tersebar di Jawa dikatakannya sebagai wahana pengajaran Islam oleh para ulama dalam wujud teks simbolik.

Basis Epistemologis dan Profetis
Ada dua basis yang digunakan HSJ untuk mengumumkan tesis nothing-but-Islam-nya yang mendekonstruksi seluruh historiografi Nusantara yang pernah ditulis selama ini, yaitu basis epistemologis dan profetis. Pertama, basis epistemologis yang ditilik dari insight yang diperoleh dari para filolog, antropolog, dan sejarawan non-arus utama—untuk mengoposisikannya dengan sejarawan kolonial, di antaranya Prof. Nancy K. Florida dan Prof. Louis-Charles Damais. Florida adalah filolog asal AS yang menggugat para filolog kolonial yang menggunakan cara pandang keliru dalam membaca sastra Jawa—suatu cara pandang yang disebutnya “tidak-akan-melihat†secara prasaja atau apa adanya kenyataan budaya Jawa dalam naskah-naskah kuno. Karenanya, mereka akan selalu gagal melihat signifikansi Islam di dalamnya, suatu entitas yang dipercaya HSJ niscaya akan muncul dalam setiap pembacaan yang telaten dan terusterang terhadap setiap teks klasik.

Ada pun Damais adalah sejarawan dan antropolog Prancis yang juga memiliki keprihatinan serupa. Menurutnya, tesis bahwa telah terjadi penaklukan para petualang Hindu ke Nusantara untuk membangun kerajaan-kerajaan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena faktanya di Nusantara tidak pernah terdapat peninggalan bahasa kaum Hindu. Yang menonjol adalah kosa kata Sansekerta yang memperkaya bahasa-bahasa Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Bali Kuno, di mana kosa kata Sansekerta ini pun bukannya berasal dari para pendatang Hindu melainkan berasal dari kitab-kitab kuno yang dibaca orang Nusantara zaman dulu. Konsekuensinya, frasa seperti “Raja-raja Hindu Majapahit†dan “Pulau Hindu†yang dinisbatkan kepada Bali adalah tidak tepat. Apa yang ada di Bali menurut Damais adalah agama Syiwa—yang berbeda dengan agama Hindu Darma. Lalu darimana istilah Hindu yang dipergunakan oleh para sejarawan kolonial?

Menurut Damais, istilah tersebut merujuk kepada kata hindoesch, Indische, Indie, atau Indo yang bersesuaian dengan istilah Oost Indische/Hindia Timur, yaitu dunia Islam (Islamistand) sebelah timur Granada, Spanyol—kota yang ditetapkan kaum kolonial sebagai garis bujur bumi nol derajat. Sedangkan West Indische/Hindia Barat adalah teritori Islamistand di sebelah barat Granada. Kesimpulannya, Damais percaya bahwa kebudayaan dan agama dari India yang pernah meresap dalam dan menjadi kekuatan politik di Nusantara hanyalah sekadar mitos.

Ada pun basis profetis yang menjustifikasi klaim nothing-but-Islam HSJ adalah Jangka Jayabaya. Jangka yang dinisbatkan kepada Raja Kediri yang paling termasyhur, Prabu Jayabaya (1135-1159), ini telah mengakar dan melestari dalam keyakinan kolektif orang Nusantara secara lisan. Kemudian ketika muncul era tulisan dalam susastra Jawa, memori kolektif ini disuratkan oleh banyak orang sehingga memiliki bermacam versi pula. Penganggitnya yang paling terkenal adalah R. Ng. Ranggawarsita. Ada pun struktur dari Jangka Jayabaya sendiri terdiri dari tiga Trikali (zaman besar) masing-masing 700 tahun, yaitu Swara (periode awal), Yoga (periode tengah), dan Sangara (periode akhir). Lebih rinci, setiap Kali tersebut juga memuat tujuh Saptama Kala (zaman kecil) yang masing-masing sejumlah 100 tahun dan setiap Saptama Kala terdiri dari tiga zaman masing-masing 33 tahun.

Bagaimana Jangka Jayabaya dapat menjadi justifikasi tesis nothing-but-Islam? Tak lain karena menurut HSJ, Jangka ini merupakan Nubuwwah Al-Islamiyah yang menjadi ekstrapolasi profetik peletak periodisasi zaman yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh orang Nusantara. Ia semacam pandoman besar bagi sejarah Nusantara untuk kurun waktu 2100 tahun. Titik pertama nubuat ini, menurut HSJ, adalah pernyataan bahwa mula pertama yang datang ke Nusantara adalah para utusan Nabi Ibrahim sekitar 3500 SM, bukan petualang Hindu/Budha.



sumber : di copy paste dari milis Kagama

Comments

Siswanto said…
artikel yang bermanfaat sekali. makasih udah di share di sini ya. jadi bisa baca deh gw
ria haya said…
Alhamdulillah klo brmanfaat, makasih ya Pak dah di follow, mohon bantuannya hehehe
saya sudah pernah sekali ke trowulan ibu kota majapahit. peninggalan2 disana benar2 mengagumkan..
ria haya said…
wah, kapan ya saya ke sana?
Anonymous said…
saya sudah ke trowulan sama demak jujur dahsyat banget dan saya rasa koerelasinya ama yang ente tulis insya Allah hampir sama dengan bukti2 peninggalan...makasih bro dah d tulis ini makasih ya...
ria haya said…
@anonymous : sama-sama. wah jadi pengin juga ke trowulan :)
nano said…
Majapahit...bagaimana ya kira2 kalau dibayangkan ??

Popular posts from this blog

Tahukah Anda tentang Suku Sentinel ?

Kebunku

Ternyata namanya adalah Sero