Ini hak aku kok!
Salah satu teman saya ‘mencak-mencak’
di facebook, yang isinya dia sedang sangat kesal naik kereta api Purwojaya. Tapi bukan kesal dengan
keretanya, melainkan dengan penumpang di sebelahnya. Ceritanya dia akan
meletakan barang-barang bawaannya di rak (bagasi) yang terletak di atas tempat duduknya. Tetapi
ternyata di atas tempat duduknya, sudah
nangkring tas orang lain, yaitu tas milik penumpang di kursi sebelahnya.
Lalu dia bertanya “Barang siapa ya?”. Lalu sang pemilik tas, seorang mbak-mbak,
dengan entengnya menjawab "Barang-barang
saya, kenapa???". Akhirnya berdebatlah mereka. Seru tuch sepertinya.
Menurut pendapat teman saya itu, kalau di atas tempat duduk simbaknya dah ga
muat, barang-barangnya ya ditaruh saja dikaki mbaknya sendiri. Mbak-mbak
penumpang disebelahnya rupanya sewot dan nyindir-nyidir terus. Teman saya
bilang dia hanya memperjuangkan haknya. Hmmm....
Itu menurut cerita yang saya baca di facebook.
Saya sudah sering mengalami kejadian yang sama, di kereta
yang sama. Di atas tempat duduk saya sudah nangkring tas penumpang lain.
Biasanya saya hanya geser sedikit saja, atau sebisa mungkin geser-geser (barang
yang di rak) sehingga barang bawaan saya akhirnya punya tempat. Yang penting
tas saya masih berada dalam jangkauan mata saya. Jika tidak kebagian saya
meletakkannya di kaki saya (itu jika ada barang-barang penting). Saya tidak mau
repot-repot berdebat dengan penumpang lain. Saya jarang sekali berdebat di
kereta. Jika ingin mengalah saya akan mengalah, jika tidak, ya saya bilang saya
tidak mau, itupun jika saya sedang tidak enak badan (tapi tidak berdebat :D).
Tergantung situasi dan kondisi. Seringkali malah saya disuruh pindah tempat
duduk, karena biasanya ada satu keluarga yang terpisah. Jika itu anak kecil
atau orang tua, saya akan mau pindah tempat duduk, walau manyun. Karena tempat
duduk saya yang tadinya disebelah jendela, jadi ditukar di pinggir jalan. Tapi
jika yang meminta tempat duduk masih muda atau usianya tidak jauh dengan saya,
saya tidak mau pindah. Misalnya dia ingin bersama temannya, atau dia ingin
bersama suami/istrinya. Enak saja, saya sudah pesan tiket jauh-jauh hari agar
bisa memilih tempat duduk yang menurut saya nyaman, malah disuruh pindah.
Kecuali kursi yang ditawarkan setara atau lebih bagus dari tempat duduk saya,
mungkin bisa dipertimbangkan hehehe. Lagipula sekarang harga tiket kereta api
berbeda-beda. Kursi yang di tengah kadang harganya lebih mahal daripada kursi
yang terletak di dekat pintu atau toilet.
Dulu sewaktu masih ada tiket berdiri, saya malah sering
dititipi anak kecil (usia balita sampai dengan usia anak SD), karena mereka
tidak punya tempat duduk. Terutama jika mudik lebaran. Mau tidak mau saya
menerimanya, walau kenyamanan selama perjalanan menjadi terganggu. Saya sebal
dengan orang tuanya sich kadang-kadang karena tidak prepare dengan baik ketika bepergian sehingga tidak kebagian tiket (yang mempunyai nomor kursi) untuk anaknya. Dan kaki
sayapun tidak bisa bergerak, karena titipan barang-barang mereka juga yang
diletakkan di bawah kaki saya. Tapi karena lebaran, dimana semua orang ingin
mudik pulang kampung, akhirnya ya saya menerima dan memakluminya. Walau badan
saya menjadi pegal-pegal karena pergerakan yang terbatas. Masa saya membiarkan
anak kecil berdiri sepanjang perjalanan, dan saya di sebelahnya tidur nyenyak?
Sebenarnya memperjuangkan hak kita itu harus sejauh mana
sich? Apakah harus saklek? Kebanyakan
orang tentunya ingin haknya terpenuhi dengan baik dan semestinya (seharusnya),
dan hampir semuanya semangat untuk
memperjuangkan hak-haknya. Bukankah dalam hak kita, kadang ada hak orang lain
juga? Manakah yang harus dipenuhi terlebih dahulu? Lalu bagaimana dengan yang
namanya kewajiban dan toleransi? Mesti membuka dan membaca kitab suci (Al Qur’an)
dan UUD ’45 nich sepertinya. Hmmm....
Ah pusing saya... Yang
saya ingat, hak hanya milik Allah swt saja, kita hanya melaksanakan kewajiban.
Comments