Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?
Berapa banyak gelar yang Anda miliki? Insinyur, Dokter, Doktorandus, Master, PhD, Professor? Semua gelar yang sangat membanggakan, tentunya. Bukankah itu juga yang menjadi alasan utama mengapa kita bersekolah? Mungkin memang demikian. Namun, ada indikasi bahwa kita sudah semakin silau dengan gelar. Bahkan sekarang sering muncul gelar-gelar baru yang hebat-hebat, unik-unik, dan aneh-aneh. Menurut pendapat Anda sendiri, seberapa pentingnya sih sebuah gelar itu?
Pada awal tahun 2000an saya menghabiskan waktu bersama beberapa teman di Ray Brook, sebuah kota kecil di pinggiran kemilau New York city. Salah satu diantara teman saya itu berkebangsaan Turki. Ketika hendak berpisah, kami saling bertukar cendera mata agar bisa menjadi kenangan kami. Karena dia suka mengoleksi mata uang negara lain, maka saya memberinya beberapa koin mata uang rupiah. Sebagai balasannya teman saya ini memberikan satu lembar uang lira Turki. Saya terkejut ketika dia menyerahkan uang senilai satu juta lira itu.”I couldn’t take it!”, saya bilang. Teman mengatakan bahwa di Turki dia hanya bisa membeli dua potong roti dengan uang satu juta itu. Bukan berarti harga barang-barang di Turki sangat mahal, melainkan karena terlampau rendahnya nilai mata uang mereka. Diam-diam, saya memiliki tekad untuk benar-benar membeli roti di negeri Turki.
Saya beruntung mempunyai momen langka seperti itu. Karena kemudian saya menyadari bahwa kita ternyata tidak jauh berbeda dengan mata uang. Jika kita biasa membanding-bandingk an nilai tukar rupiah dengan dollar, euro, poundsterling dan mata uang dunia lainnya; maka sebaiknya kita juga belajar membandingkan ’nilai diri kita’ dengan orang lain. Sekarang kita menyadari betul bahwa nilai tukar mata uang itu sama sekali tidak ditentukan oleh jumlah angkanya. Melainkan dengan ’nilai benda’ yang bisa dibeli olehnya. Dalam kasus lira Turki yang saya terima dari teman saya di awal tahun 2000an itu, besar nilai nominal yang tertera dalam lembarannya sama sekali tidak memberi arti bermakna. Manusia juga sama. Panjangnya gelar yang menempel didepan atau dibelakang nama kita sama sekali tidak menentukan ’nilai’ kita yang sebenarnya.
Anehnya, kita sering terpukau oleh gelar yang mentereng dan berjajar panjang menghiasi nama kita. Apakah itu salah? Tidak. Silakan saja. Namun, hendaknya kita mendahulukan ’nilai’ sesungguhnya dari diri kita melebihi deretan gelar itu. Apa gunanya suatu mata uang yang memiliki jejeran angka nol yang sangat banyak, namun nilainya hanya setara dengan dua potong roti. Mending mata uang lain yang meskipun angka nolnya hanya satu, bahkan tidak memiliki angka nol sama sekali; namun dia bisa ditukarkan dengan roti dalam jumlah yang sama dengan satu juta yang saya terima dari teman Turki tadi.
Hal ini memberi saya kesadaran bahwa ternyata memang ’bukan’ angka nominal yang panjang yang menentukan nilai uang. Dan, bukan deretan gelar yang panjang yang menentukan nilai seseorang. Apa lagi jika gelar-gelar yang kita tempelkan itu bukan hasil pendidikan, melainkan hasil klaim pribadi atau sekelompok orang. Misalnya, dengan menjadi seorang sopir angkot, saya tentu tidak perlu memberi diri sendiri gelar sebagai ’sopir angkot terbaik’ bukan? Selain hal itu sama sekali tidak mewakili kemampuan mengemudi dan perilaku ’berlalulintas’ saya, juga tidak jelas apa ukurannya. Mengapa saya tidak merasa puas dengan gelar ’sopir angkot’ saja? Apa lagi kenyataannya tidak ada lembaga apapun yang memberi legitimasi kepada saya untuk menyebut diri sebagai ’sopir angkot terbaik’ itu. Memangnya kapan saya dibandingkan dengan para sopir angkot lainnya?
Bulan Mei 2006, saya duduk di dermaga selat Bosporus, tepat disamping sebuah pelabuhan kapal Feri di Besiktas. Orang-orang Turki menggunakan Feri itu untuk menyeberang ke daratan Eropa di pagi hari, dan kembali ke sisi lain di daratan Asia. Beberapa meter dari tempat duduk saya ada seorang Bapak tua yang menjajakan roti. Saat perut terasa lapar, pedagang roti itupun saya hampiri. Lalu saya membeli sepotong roti. Harganya hanya dua setengah lira. Lho, kok harganya bukan 500 ribu lira? Tentu saja, karena Turki di tahun 2000 berbeda dengan Turki tahun 2006. Tuhan mengijinkan saya mewujudkan tekad untuk membeli roti di Turki, namun uang yang saya gunakan sudah tidak sama lagi. Ketika Turki berhasil melakukan redenominasi mata uangnya, ternyata mereka berhasil memotong deretan angka nol yang tidak memiliki arti.
Jangan-jangan kita juga seperti itu. Ketika kita berhasil ’meredenominasi’ penghargaan yang berlebihan terhadap gelar seseorang, mungkin kita bisa berhasil memotong deretan gelar-gelar yang tidak memiliki arti. Dengan menggunakan nilai nominal baru yang lebih pendek itu, orang Turki sama sekali tidak kehilangan ’nilai’ mata uangnya. Dengan menggunakan paradigma gelar baru yang lebih pendek itu, kita harus yakin tidak akan pernah kehilangan ’nilai diri kita yang sesungguhnya’. Kita sering melihat orang-orang yang bergelar sedemikian panjangnya sehingga namanya sendiri nyaris tenggelam oleh deretan gelar itu. Padahal, jika gelar-gelar yang berentet itu dikurangi, sama sekali tidak akan menurunkan kualitas atau ketinggian nilai dirinya.
Bukankah setiap orang berhak menggunakan gelarnya? Oh, tentu. Salah seorang sahabat saya mendapatkan gelar ’Professor’ pada usia muda. Banyak sahabat saya yang berhasil meraih gelar PhD. Mereka adalah orang-orang yang kualitas dirinya ’sudah teruji’. Dari mereka saya belajar bahwa ’menempelkan’ gelar perlu didahului oleh ’nilai diri’ yang sesunggunya. Dengan cara itu barulah sebuah gelar memiliki makna. Apa jadinya jika kesilauan kita terhadap gelar akhirnya mendorong kita untuk mendapat gelar ’dengan cara apapun’. Termasuk diantaranya memalsukan tesis atau bahkan membelinya dari sekelompok pedagang ijazah di toko kelontong berlabel kampus.
Ketika menyerahkan uang 1 juta lira-nya, teman saya berkelakar;”Sekarang kamu tahu Dang, kalau gaji saya di Turki bernilai Milyaran.... ...” Kami terbahak-bahak karena mulai sadar jika angka nominal yang panjang itu tidak lebih dari sekedar guyonan belaka. Ketika kita menempelkan begitu banyak gelar pada nama kita, boleh jadi banyak orang yang mentertawakan kita. Terutama mereka yang benar-benar memiliki ilmunya. Karena mereka tahu bahwa kedalaman ilmu seseorang tidak bisa dilukiskan dengan gelar yang panjang.
Hanya saja, ada bedanya antara uang dengan gelar keilmuan. Saya mengenal beberapa orang yang berpendidikan tinggi. Mendapat gelar dari hasil perjuangannya bersekolah. Kecanggihan ilmunya diakui oleh kalangan industri maupun dunia pendidikan. Namun, orang-orang itu tidak sembarangan menggunakan gelar yang dimilikinya. Mereka hanya menggunakan gelar-gelar itu dalam forum-forum yang relevan. Sedangkan di luar forum itu, mereka memilih untuk menampilkan nama dirinya sendiri. Sungguh, orang-orang itu telah berhasil membangun penghormatan sejati. Gambaran manusia berilmu yang sesungguhnya. Mereka yang berjuang untuk ilmu, bukan semata-mata untuk meraih gelarnya.
Sekarang, masyarakat di negara kita tengah ramai membicarakan wacana redenominasi nilai rupiah. Kita sudah sadar bahwa angka nol yang panjang itu sama sekali bukan jaminan tingginya nilai tukar mata uang kita. Semoga saja, kesadaran ini juga kita imbangi dengan kesadara lain bahwa; gelar kita sama sekali bukanlah faktor penentu kualitas diri kita. Jika kita sudah bosan dengan gelembung nilai rupiah yang kempos, maka mungkin sudah saatnya juga bagi kita untuk ’mulai bosan’ dengan mengagung-agungkan gelar didepan dan belakang nama kita. Apakah gelar akademis yang dipakai tidak pada tempatnya, atau pun gelar-gelar lain yang kita dapat dari ranah antah berantah.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
sumber : biasa copian dr milis hehehehe
Pada awal tahun 2000an saya menghabiskan waktu bersama beberapa teman di Ray Brook, sebuah kota kecil di pinggiran kemilau New York city. Salah satu diantara teman saya itu berkebangsaan Turki. Ketika hendak berpisah, kami saling bertukar cendera mata agar bisa menjadi kenangan kami. Karena dia suka mengoleksi mata uang negara lain, maka saya memberinya beberapa koin mata uang rupiah. Sebagai balasannya teman saya ini memberikan satu lembar uang lira Turki. Saya terkejut ketika dia menyerahkan uang senilai satu juta lira itu.”I couldn’t take it!”, saya bilang. Teman mengatakan bahwa di Turki dia hanya bisa membeli dua potong roti dengan uang satu juta itu. Bukan berarti harga barang-barang di Turki sangat mahal, melainkan karena terlampau rendahnya nilai mata uang mereka. Diam-diam, saya memiliki tekad untuk benar-benar membeli roti di negeri Turki.
Saya beruntung mempunyai momen langka seperti itu. Karena kemudian saya menyadari bahwa kita ternyata tidak jauh berbeda dengan mata uang. Jika kita biasa membanding-bandingk an nilai tukar rupiah dengan dollar, euro, poundsterling dan mata uang dunia lainnya; maka sebaiknya kita juga belajar membandingkan ’nilai diri kita’ dengan orang lain. Sekarang kita menyadari betul bahwa nilai tukar mata uang itu sama sekali tidak ditentukan oleh jumlah angkanya. Melainkan dengan ’nilai benda’ yang bisa dibeli olehnya. Dalam kasus lira Turki yang saya terima dari teman saya di awal tahun 2000an itu, besar nilai nominal yang tertera dalam lembarannya sama sekali tidak memberi arti bermakna. Manusia juga sama. Panjangnya gelar yang menempel didepan atau dibelakang nama kita sama sekali tidak menentukan ’nilai’ kita yang sebenarnya.
Anehnya, kita sering terpukau oleh gelar yang mentereng dan berjajar panjang menghiasi nama kita. Apakah itu salah? Tidak. Silakan saja. Namun, hendaknya kita mendahulukan ’nilai’ sesungguhnya dari diri kita melebihi deretan gelar itu. Apa gunanya suatu mata uang yang memiliki jejeran angka nol yang sangat banyak, namun nilainya hanya setara dengan dua potong roti. Mending mata uang lain yang meskipun angka nolnya hanya satu, bahkan tidak memiliki angka nol sama sekali; namun dia bisa ditukarkan dengan roti dalam jumlah yang sama dengan satu juta yang saya terima dari teman Turki tadi.
Hal ini memberi saya kesadaran bahwa ternyata memang ’bukan’ angka nominal yang panjang yang menentukan nilai uang. Dan, bukan deretan gelar yang panjang yang menentukan nilai seseorang. Apa lagi jika gelar-gelar yang kita tempelkan itu bukan hasil pendidikan, melainkan hasil klaim pribadi atau sekelompok orang. Misalnya, dengan menjadi seorang sopir angkot, saya tentu tidak perlu memberi diri sendiri gelar sebagai ’sopir angkot terbaik’ bukan? Selain hal itu sama sekali tidak mewakili kemampuan mengemudi dan perilaku ’berlalulintas’ saya, juga tidak jelas apa ukurannya. Mengapa saya tidak merasa puas dengan gelar ’sopir angkot’ saja? Apa lagi kenyataannya tidak ada lembaga apapun yang memberi legitimasi kepada saya untuk menyebut diri sebagai ’sopir angkot terbaik’ itu. Memangnya kapan saya dibandingkan dengan para sopir angkot lainnya?
Bulan Mei 2006, saya duduk di dermaga selat Bosporus, tepat disamping sebuah pelabuhan kapal Feri di Besiktas. Orang-orang Turki menggunakan Feri itu untuk menyeberang ke daratan Eropa di pagi hari, dan kembali ke sisi lain di daratan Asia. Beberapa meter dari tempat duduk saya ada seorang Bapak tua yang menjajakan roti. Saat perut terasa lapar, pedagang roti itupun saya hampiri. Lalu saya membeli sepotong roti. Harganya hanya dua setengah lira. Lho, kok harganya bukan 500 ribu lira? Tentu saja, karena Turki di tahun 2000 berbeda dengan Turki tahun 2006. Tuhan mengijinkan saya mewujudkan tekad untuk membeli roti di Turki, namun uang yang saya gunakan sudah tidak sama lagi. Ketika Turki berhasil melakukan redenominasi mata uangnya, ternyata mereka berhasil memotong deretan angka nol yang tidak memiliki arti.
Jangan-jangan kita juga seperti itu. Ketika kita berhasil ’meredenominasi’ penghargaan yang berlebihan terhadap gelar seseorang, mungkin kita bisa berhasil memotong deretan gelar-gelar yang tidak memiliki arti. Dengan menggunakan nilai nominal baru yang lebih pendek itu, orang Turki sama sekali tidak kehilangan ’nilai’ mata uangnya. Dengan menggunakan paradigma gelar baru yang lebih pendek itu, kita harus yakin tidak akan pernah kehilangan ’nilai diri kita yang sesungguhnya’. Kita sering melihat orang-orang yang bergelar sedemikian panjangnya sehingga namanya sendiri nyaris tenggelam oleh deretan gelar itu. Padahal, jika gelar-gelar yang berentet itu dikurangi, sama sekali tidak akan menurunkan kualitas atau ketinggian nilai dirinya.
Bukankah setiap orang berhak menggunakan gelarnya? Oh, tentu. Salah seorang sahabat saya mendapatkan gelar ’Professor’ pada usia muda. Banyak sahabat saya yang berhasil meraih gelar PhD. Mereka adalah orang-orang yang kualitas dirinya ’sudah teruji’. Dari mereka saya belajar bahwa ’menempelkan’ gelar perlu didahului oleh ’nilai diri’ yang sesunggunya. Dengan cara itu barulah sebuah gelar memiliki makna. Apa jadinya jika kesilauan kita terhadap gelar akhirnya mendorong kita untuk mendapat gelar ’dengan cara apapun’. Termasuk diantaranya memalsukan tesis atau bahkan membelinya dari sekelompok pedagang ijazah di toko kelontong berlabel kampus.
Ketika menyerahkan uang 1 juta lira-nya, teman saya berkelakar;”Sekarang kamu tahu Dang, kalau gaji saya di Turki bernilai Milyaran.... ...” Kami terbahak-bahak karena mulai sadar jika angka nominal yang panjang itu tidak lebih dari sekedar guyonan belaka. Ketika kita menempelkan begitu banyak gelar pada nama kita, boleh jadi banyak orang yang mentertawakan kita. Terutama mereka yang benar-benar memiliki ilmunya. Karena mereka tahu bahwa kedalaman ilmu seseorang tidak bisa dilukiskan dengan gelar yang panjang.
Hanya saja, ada bedanya antara uang dengan gelar keilmuan. Saya mengenal beberapa orang yang berpendidikan tinggi. Mendapat gelar dari hasil perjuangannya bersekolah. Kecanggihan ilmunya diakui oleh kalangan industri maupun dunia pendidikan. Namun, orang-orang itu tidak sembarangan menggunakan gelar yang dimilikinya. Mereka hanya menggunakan gelar-gelar itu dalam forum-forum yang relevan. Sedangkan di luar forum itu, mereka memilih untuk menampilkan nama dirinya sendiri. Sungguh, orang-orang itu telah berhasil membangun penghormatan sejati. Gambaran manusia berilmu yang sesungguhnya. Mereka yang berjuang untuk ilmu, bukan semata-mata untuk meraih gelarnya.
Sekarang, masyarakat di negara kita tengah ramai membicarakan wacana redenominasi nilai rupiah. Kita sudah sadar bahwa angka nol yang panjang itu sama sekali bukan jaminan tingginya nilai tukar mata uang kita. Semoga saja, kesadaran ini juga kita imbangi dengan kesadara lain bahwa; gelar kita sama sekali bukanlah faktor penentu kualitas diri kita. Jika kita sudah bosan dengan gelembung nilai rupiah yang kempos, maka mungkin sudah saatnya juga bagi kita untuk ’mulai bosan’ dengan mengagung-agungkan gelar didepan dan belakang nama kita. Apakah gelar akademis yang dipakai tidak pada tempatnya, atau pun gelar-gelar lain yang kita dapat dari ranah antah berantah.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
sumber : biasa copian dr milis hehehehe
Comments