Pengabdian Sang Dokter Rp 2.000

Bagus Kurniawan - detikHealth

Yogyakarta, Jarang sekali menemukan dokter yang mau dibayar seadanya oleh pasien terlebih di kota besar. Tapi di ujung timur Indonesia khususnya di Abepura Papua ada dokter yang hanya memasang tarif Rp 2.000 ke pasiennya.

Coba bayangkan nilai Rp 2.000 di kota yang apa-apa serba mahal tapi masih ada dokter yang tidak silau materi yang hanya memasang tarif seadanya. Itulah semangat pengabdian dokter FX Sudanto yang semngat seperti itu sudah makin langka di Indonesia.

FX Sudanto tak muda lagi, usianya sudah 67 tahun. Namun semangatnya untuk mengabdi ke masyarakat tak pernah surut. Lebih dari 30 tahun, Sudanto mengabdikan hidupnya sebagai dokter di Abepura.

Untuk berobat kepadanya, warga tak perlu mengeluarkan banyak duit. Cukup Rp 2.000. Bahkan kalau memang tidak punya uang sama sekali, gratis pun jadi. Karena itulah Sudanto terkenal dengan panggilan 'Dokter Rp 2.000'.

Sudanto memang sudah pensiun sejak tahun 2003. Meski demikian, dia tetap membuka praktik di rumahnya di distrik Abepura. Dia merasa, tenaganya masih dibutuhkan warga.

"Kalau dibilang capek, ya capek. Tapi ini pengabdian dan masyarakat di sana masih membutuhkan," kata Sudanto usai menerima penghargaan Alumni Award atau penghargaan bagi insan UGM berprestasi di Gedung Graha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Bulaksumur, Yogyakarta, Kamis (17/12/2009).

Menurut Sudanto, setiap harinya warga yang datang berobat sekitar 100 orang. Jumlah itu bisa bertambah menjadi dua kali lipat bila sehabis liburan. "Jam praktik biasanya mulai jam 7 pagi hingga sore. Tapi kalau masih banyak bisa sampai malam," ujar Sudanto.

Sudanto mengabdikan diri di Papua begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Umum (FKU) UGM tahun 1976. Usai lulus, Sudanto mendaftarkan diri ikut program Dokter Inpres. Dia kemudian ditempatkan di wilayah Asmat Irian Jaya (Papua). Selama 6 tahun hingga 1982 dia bertugas di Asmat dengan melayani 4 kecamatan terpencil.

Wilayah tugasnya benar-benar di pedalaman. Setiap hari Sudanto harus berjalan kaki keluar masuk hutan dan rawa untuk menjangkau satu desa ke desa lainnya. Pasiennya banyak yang tak mampu membayar jasanya dengan uang. Mereka hanya membayar dengan sagu, rempah-rempah atau kayu bakar dari hutan.

"Pasien paling banyak menderita malaria akut, infeksi saluran pernafasan, serta kurang gizi," kata pria kelahiran Karanganyar, Kebumen, Jawa tengah, 5 Desember 1942 itu.

Sudanto menjadi dokter Inpres sampai tahun 1982. Selanjutnya dia bertugas di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura hingga pensiun pada tahun 2003.

Setelah pensiun, ayah lima anak ini membuka praktek pengobatan di rumahnya di Abepura. Dia juga mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura hingga sekarang. Termasuk juga mengajar di program studi Pendidikan Jasmi dan Kesehatan (Penjaskes) FKIP Uncen serta beberapa perguruan tinggi swasta di Jayapura.

Sudanto praktik mulai pukul 07.00 WIT hingga 12.00 WIT. Pasien hanya membayar biaya periksa. Sedang obat-obatan, alat suntik dibeli pasien di apotek yang terletak didekat tempat prakteknya.

"Hanya memeriksa kondisi pasien saja. Banyak pasien yang merasa sudah sembuh setelah diperiksa. Semua obat yang ada adalah obat generik," pungkas suami dari Elisabeth S, perempuan keturunan Ambon-Manado.

Penghargaan terhadap Sudanto diberikan dalam rangka Dies Natalis ke-60 UGM. Dalam kesempatan itu, UGM memberikan penghargaan terhadap 90 orang berprestasi. Lima diantaranya adalah pengabdi di daerah miskin dan terpencil.


Comments

ReBorn said…
susah banget menjaga idealisme kayak dokter ini. keren lah...
ria haya said…
iya bener... cita2 gue pas kecil xixixi, sayang gue ga lolos waktu UMPTN

Popular posts from this blog

Tahukah Anda tentang Suku Sentinel ?

Ternyata namanya adalah Sero

11.11