Hari ke-4, 20110801_Bag.1

Hari ke-4 aku di Tembagapura, bertepatan dengan awal bulan puasa alias hari pertama puasa Ramadhan 1432.
Pada malam memasuki bulan puasa (tarawih pertama) di sini rasanya sangat sepi, mungkin karena di daerah terisolasi, ditambah hujan yang tidak kunjung berhenti juga. Tidak terasa hiruk pikuk menyambut awal Ramadhan, seperti halnya yang terjadi di kampungku, atau hanya aku yang tidak tahu saja kali ya... kegiatan di sini apa saja?
 
Pada malam harinya, kami bangun sekitar jam 02.30 WIT, untuk sahur. Adikku pergi ke ruang makan untuk mengambil nasi dan sayur yang dia taruh dalam kotak makanan dan dibawa ke kamar, agar aku bisa ikut memakannya. Karena katanya staf saja yang boleh masuk ke dalam ruang makan. Kalaupun selain staf boleh, misalnya tamu seperti aku, maka dia harus membayar, kalau aku tidak salah ingat sebesar Rp 45.000;. Aku sudah pernah masuk sekali ke ruang makan tersebut, dan sama sekali tidak berselera makan melihat makanannya. Iya sich, ada sayuran dan daging, serta makanan lainnya, tapi waktu itu aku malah eneg melihat makanan yang sepertinya selalu dalam kondisi hangat itu dan terlihat kurang segar lagi.
Sungguh manusia memang gampang mengeluh ya…sudah tersedia makanan dan tinggal makan saja masih minta ini itu *koreksi diri*. Bayangkan para pekerja di sini yang harus menurut saja memakan makanan yang telah disediakan, yang mungkin kadang tidak ada rasanya atau tidak sesuai dengan selera, dan bagaimana jika setiap hari selama bertahun-tahun seperti itu.

Akhirnya menu sahur kami adalah nasi putih, sayur kubis, dan rendang. Rendangnya kami beli dari seorang teman adik yang  mendapatkan kirimian satu kilogram rendang dari saudaranya di Timika. Kami membelinya beberapa potong rendang untuk lauk sahur. Alhamdulillah….

menu sahur
Setelah selesai sahur, ingin rasanya tidur lagi, eh!! dingin bo... walaupun penghangat ruangan sudah dinyalakan. Tapi karena hari ini aku harus meninggalkan kawasan ini, maka dipagi-pagi buta sekitar jam 4 pagi aku sudah mandi dan rapi, karena sehabis sholat subuh kami harus sudah meluncur ke helipad.
Kenapa harus pagi-pagi sekali? Karena berebut prioritas terbang hehehe. Karena katanya jika cuaca kurang bagus dan hanya memungkinkan terbang sekali saja, maka yang diangkut terbang menggunakan chopper hanyalah prioritas satu saja (M1) atau hanya para bosnya saja, lainnya nge-bis.
Untuk mengejar prioritas 1, maka kami harus berangkat pagi-pagi buta. Dengan menggendong ransel besar, dan memakai payung (karena pagi itupun hujan), aku berjalan mengikuti adikku menuju landasan chopper. Lumayan jauh juga jarak barak dengan helipad. Berjalan kaki di jalanan dengan topografi bergelombang alias naik turun, cukup untuk membuat badan sedikit berkeringat di cuaca yang dingin, dan jantungpun lebih cepat berdetak alias ngos-ngosan.
Walaupun kami sudah berusaha untuk sepagi mungkin ke helipad, tapi waktu check in chopper kami sudah tidak bisa mendapatkan prioritas 1. Kami mendapatkan prioritas 2 (M2). Sepertinya M1 sudah penuh dengan para bos atau pejabat perusahaan itu, yang akan mengadakan perundingan buruh di Timika. O, iya waktu aku ke kawasan tambang ini, beberapa hari sebelumnya terjadi demo atau aksi buruh besar-besaran (melibatkan ribuan karyawan/buruh) yang menuntut kenaikan upah/gaji. Sebenarnya waktu itu agak khawatir juga, kalau misalnya tidak bisa pulang ke Jawa lagi kalau-kalau terjadi kericuhan yang mungkin berdampak pada penerbangan pesawat atau pemblokiran sarana umum seperti jalan atau bandara.


Sampai jam 8 pagi cuaca tidak juga cerah. Hujan tidak kunjung berhenti dan kabut tebal menyelubungi helipad dan daerah sekitarnya, memperpendek jarak pandang. Visibility kurang dari 10 meter. Tentu saja chopper tidak jadi terbang. Maka semua penumpang chopper dialihkan ke bis. Sebenarnya aku memang ingin mencoba ikut iring-iringan bis untuk perjalanan turun dari High Land (Tembagapura) ke Low Land (Timika). Tetapi karena adik malas antri naik bis, maka dia menyarankan naik chopper juga pas pulangnya.
Karena kami sudah check in chopper, jadi kami tidak perlu mengantri naik bis. Bisnya yang menjemput ke landasan. Syukurlah, aku lihat antrian bis karyawan memang panjang mengular. Tapi kami harus tetap menunggu iring-iringan bis lainnya. Cukup lama juga kami menunggu iring-iringan bis, yang ternyata berjumlah cukup banyak. Aku tidak tahu berapa jumlah tepatnya, yang jelas lebih dari lima bis.

Helipad

Iring-iringan (konvoi) bis ini mendapat kawalan ketat dari security di sana, mengingat sejumlah peristiwa penembakan dan juga sedang terjadinya perundingan/aksi buruh perusahaan. Sejumlah mobil patroli tampak bolak-balik di jalanan yang akan dilalui. Hujan malah semakin lebat, dan hawanyapun semakin dingin. Gigiku semakin bergeletukan, dan kuping semakin budheg. Dan tentu saja ingin buang kecil terus, tetapi apa daya sudah di dalam bis, dan tidak terlihat adanya toilet (ya iyalah.... kanan kiri jurang).
Bis kami sepertinya ada di bagian depan iring-iringan. Kalau misalnya ada penembakan lagi, mungkin bisa jadi sasaran empuk, karena tampaknya di dalam bis ini ada beberapa punggawa perusahaan dan juga beberapa ekspatriat.
Aku duduk dipinggir jendela, sambil sesekali mengelap kaca, berharap bisa melihat pemandangan di luar bis. Tapi karena jarak pandang yang pendek tadi, maka aku tidak bisa melihat keindahan alam di jalan dataran tinggi yang aku lewati karena kabut tebal ada di mana-mana. Kepala juga semakin pusing, mungkin karena tipisnya oksigen. Sebagian besar penumpang di bis tidur. Karena aku tidak mau melewatkan pemandangan sepanjang jalan, dan berharap kabut-kabut itu segera pergi menghilang, mataku tetap menatap ke luar jendela bis, sambil menghitung berapa mile yang sudah aku lewati (di sepanjang jalan ada papan yang menunjukan mile ke berapa). Entah sudah berapa lembar tisu yang aku habiskan untuk mengelap kaca jendela bis. Kapan lagi rakyat jelata sepertiku bisa ke sini, rasanya wajar kan kalau aku manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin J. Selain penasaran dengan keindahan alam Papua, aku juga penasaran tentang seperti apa keadaan daerah di sepanjang jalan ini yang menjadi lokasi terjadinya penembakan seperti yang diberitakan di berbagai media.

Baiklah sebagai informasi mari kita sedikit menelusuri sejarah pembangunan jalan tambang ini.
Jalan utama dari Pelabuhan Amamapare ke Tembagapura dan Gunung Bijih adalah hasil perenungan serius Balfour Darnell. Sebelumnya, Darnell memikirkan untuk membangun jalan melalui lembah dan tebing-tebing gunung. Rencana ini diurungkan setelah ia merenung dan berpikir untuk membuat dan merintis jalan dari atas punggungan gunung dan bukit. Cara ini dianggap lebih mudah, dan aman daripada merintis dari bawah dan lembah-lembah yang kondisi tanahnya labil dan sering longsor. Darnelpun memotret jalur-jalur punggung gunung yang cocok untuk jalan melalui udara (foto udara), dan kemudian punggungan gunung tersebut di namakan Darnell Ridge, dimana daerah ini menjadi tempat awal pembuatan jalan di dataran tinggi. Buldoser-buldoser berukuran kecil jenis D-4, lalu diangkut dan diturunkan di atas punggung gunung jalur ini. Kemudian tanah dan batu dikupas dan digusur untuk merintis jalan. Jalan utama yang berkelok-kelok ini membentang sepanjang lebih dari 100 km mulai Cargo Dock di Mile 5 di dataran rendah hingga Mile 74 di wilayah dataran tinggi. Jalan di dataran tinggi yang mengikuti punggungan gunung melewati dua terowongan utama yaitu Terowongan Hanekam dengan panjang 1.300 m dan Terowongan Zaagkam dengan panjang 950 m.
Pembangunan jalan di dataran rendah juga tidak kalah beratnya. Kondisi tanahnya berawa-rawa dan juga berhutan lebat mulai dari Mile 39 sampai Mile 50. Banyak alat-alat berat yang bekerja di daerah ini yang tenggelam.
Penjelasan singkat di atas aku rangkum dari buku, semoga bermanfaat.

ini dia jalannya (gambar ngopi dari sini)

Bisa dibayangkan kan untuk membangun jalan yang berkelok-kelok di atas punggungan gunung tersebut pastilah dibutuhkan keoptimisan dan ambisi yang  sangat besar. Bahwa tujuan di ujung jalan tersebut pastilah terdapat sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang sangat dahsyat dan mengagumkan. Iya… sampai saat ini aku masih melongo, kagum dan miris melihat Grasberg dan Erstberg yang telah menjadi lubang buesaaar, di atas ketinggian lebih dari 4.000 mdpl pula. Bagaimana jika kemarin aku melihat tambang bawah tanahnya juga secara langsung, mungkin makin melongo. Pastinya sangat menarik juga mempelajari geologi dan geomorfologi beserta sejarah kawasan tambang tersebut.

O, iya kembali ke perjalananku. Sampailah konvoi di check point Mile 50. Wow sangat ramai rupanya di sini. Konvoi bis dari Timika dan dari Tembagapura bertemu di sini. Wuih, seperti perbatasan negara saja, semua orang yang lewat diperiksa. Tapi penumpang bus yang aku naiki tidak diperiksa. Mungkin karena kami sudah diperiksa sewaktu check in chopper tadi. O, iya aku masih menahan buang air kecil, ingak-inguk dari dalam bis, tapi tidak melihat adanya toilet di sini. Para penumpang yang kebanyakan laki-laki yang ingin buang air kecil mereka tinggal melangkah sedikit ke dalam hutan atau semak-semak, lah aku? Mana mungkin mengikuti mereka. Selain itu, aku tidak melihat penampakan cewek berjilbab lainnya di sini selain aku dan adikku. Takuuut. Takut ditinggal bis atau bagaimana jika ada penembak yang berkeliaran mencari mangsa. Aku juga melihat ada sebuah tank baja milik TNI terparkir dibalik pepohonan.
Sambil menunggu pemeriksaan selesai, aku melihat-lihat sekilas daerah sekitar check point ini. Mile 50 adalah pertemuan antara jalan dataran rendah dan dataran tinggi. Masih dikelilingi hutan lebat, tapi cukup datar. Tidak seperti jalanan di atas Mile 50 tadi, di mana kanan kirinya terdapat jurang yang curam dan terjal.

Bersambung….

Comments

Dihas Enrico said…
jalannya udah kayak dicerita dongeng saja.....
hebat banget...
:)
Diah Alsa said…
wooww menegangkan ceritanya, ayoo doong dilanjutin

tapi yaahh itu koq makan kayak berasa diumpetin gitu trus klo selain karyawan harus bayar 45rb pula? ckckck, mahal bener yak.. padahal buat sahur looh.
ria haya said…
iyach ^^
ria haya said…
tunggu lanjutannya ya... :)
ya krn di sana juga ada restoran dan cafe, jadi kalau ngga dapat jatah makan di ruang makan, ya silahkan beli di luar dg harga yg amit2 juga. satu mangkok bubur ayam 40rb wkwkwkwk

Popular posts from this blog

Tahukah Anda tentang Suku Sentinel ?

Ternyata namanya adalah Sero

11.11