Ngirit, Pak Eko

Akhir-akhir ini saya lumayan sering mudik ke kampung. Karena harga tiket kereta bisnis dan eksekutif semakin mahal saja, apalagi jika akhir pekan, maka pilihan jatuh menggunakan kereta ekonomi untuk menghemat biaya. Selama beberapa tahun merantau di Jakarta, saya jarang sekali naik kereta ekonomi untuk mudik. Ada beberapa alasan, yang intinya adalah tentang kenyamanan dan keamanan. Yach, mungkin benar istilah ana rega, ana rupa.
Saya sudah pernah memposting tentang pengalaman naik KA ekonomi di Finally...Economy Class+Alone dan Weekend Kemarin
Kali ini saya akan menuliskannya lagi, curhat bo... hehehe

gambarnya ngopy di sini

Jam 16.00 saya keluar dari kantor. Saya pulang dulu ke kos untuk mandi, dan packing dan menunggu Maghrib. Setelah sholat Maghrib saya baru meninggalkan kos menuju stasiun. Jadwal KA (Serayu Malam) yang tertera di tiket KA saya 20.25 WIB dari Stasiun Kota. Tapi saya tidak naik KA di Stasiun Kota, melainkan di Sta. Pasar Senen, maka kesanalah saya menuju. Saya membawa 2 tentengan tas plastik besar yang berat di tangan kanan kiri saya, dan satu tas ransel di punggung. Jalanan sehabis Maghrib pada Jumat malam biasanya macet. Sebenarnya saya ingin naik Kopaja ke stasiun, tapi mengingat barang bawaan saya yang banyak maka saya mengurungkan niat tersebut. Akan sulit dan repot dalam kondisi saya saat itu untuk naik Kopaja atau Transjakarta yang penuh sesak. Akhirnya saya memutuskan naik taksi saja. Beberapa tahun yang lalu waktu nilai uang saya masih lebih terasa berharga daripada sekarang, saya tidak akan berpikir panjang untuk naik taksi ke stasiun. Tapi lagi-lagi demi penghematan, naik taksi sekarang merupakan hal yang mewah, dan dilakukan jika memang perlu saja, seperti misalnya kerepotan karena membawa barang bawaan yang cukup banyak. Tingkat pendapatan yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi yang sepertinya semakin naik per tahunnya, membuat saya harus mengubah gaya hidup, suka atau tidak suka.

Dan sepanjang jalan ketika naik taksi, mata saya tidak pernah lepas dari argo. Jalanan padat merayap dari Pasar Minggu sampai warung Buncit. Dan macet ketika sampai Mampang dan Kuningan. Taksi hanya berjalan layaknya keong. Sebenarnya saya sudah tahu Jumat malam biasanya jalanan penuh dan kadang macet. Kalau barang bawaan saya tidak banyak dan ringan, naik ojek atau busway merupakan pilihan yang lebih baik daripada taksi. Kalau naik Kopaja walaupun lumayan cepat, tapi seringkali dioper ke bis lainnya di tengah jalan. Yang tadinya duduk jadi berdiri. Berdiri di angkot yang penuh sesak tentu sebaiknya kita meningkatkan tingkat kewaspadaan. Tau sendirilah....
Sopir taksi sepertinya tahu saya gelisah, ketika sampai di jembatan yang dekat Four Season menuju Menteng macetnya menggila. Sejauh mata memandang hanya lautan mobil. Sekarang bukan argo saja yang saya khawatirkan, tapi jadwal keberangkatan kereta. Saya sudah tidak bisa berganti naik angkutan lain di tengah-tengah jembatan yang macet ini. Pak sopir menanyakan jam keberangkatan kereta, dan dia sepertinya mengerti juga. Maka begitu bisa keluar jembatan, dia mencari jalan alternatif lain. Agak muter-muter sich, tapi yang penting tidak macet. Untunglah sampai di stasiun sekitar jam 8 malam, masih ada waktu setengah jam lagi. Argo di taksi menunjukan angka enampuluh ribuan, padahal harga tiket kereta saya cuma Rp. 25.000;. Saya sudah memperkirakan ongkos taksi ini sich, untunglah tidak sampai mendekati angka 100 ribu. Jika naik angkutan umum saya hanya perlu mengeluarkan 2000 rupiah saja dari kantong saya. Jadi Kopaja : Taksi = 1 : 30 wakakakak, itulah yang membuat saya tidak suka membawa barang banyak jika bepergian. Merepotkan dan mahal hehehe.

Sambil menunggu kereta datang, saya mengobrol dengan bapak-bapak di sebelah saya. Dia mengira saya ini anak pesantren, xixixi kok bisa ya? Anak pesantren kok pake jeans plus kaos oblong. Tapi gak papalah dikira santri hehehe
Keretapun datang. Seperti biasa, ketika masuk kereta pasti rusuh, sradak-sruduk dan dorong-dorongan. Hadeehhhh...kayaknya masyarakat negara ini agak susah jika disuruh mengantri. Ketika sampai tempat duduk, saya kaget dan merasakan nyeri di tangan. Rupanya jari manis dan kelingking saya lecet dan berdarah akibat menyenggol sesuatu waktu berdesak-desakan masuk ke gerbong kereta.
Saya kebagian duduk di kursi sebelah jalan. Wuah alamat susah tidur nich, karena kesenggol-kesenggol pedagang yang wara-wiri menawarkan dagangannya. Akhirnya daripada nggak bisa tidur saya mengeluarkan buku bacaan yang sengaja saya beli untuk menemani perjalanan saya, judulnya Selimut Debu karya Agustinus Wibowo. Kisah-kisah petualangan Agustinus ini memang selalu menarik untuk disimak.
Tapi ketika malam semakin larut, mata saya semakin berat dan lelah. Saya terbangun ketika ada seorang pedagang jeruk menawarkan dagangannya dengan keras-keras, membangunkan hampir seluruh isi gerbong. Pedagang itu, laki-laki bertubuh besar, membawa sekarung jeruk. Dengan bahasa Indonesia dicampur Jawa 'bandeg' begitu saya menyebut bahasa Jawa selain ngapax hehehe, dia menawarkan jeruk-jeruk yang dibawanya dengan sangat cerewet. Saya tidak terlalu suka dengan caranya menawarkan dagangannya, bahasanya menyindir dan terkesan menuduh serta memaksa, membuat jengah. Misalnya waktu dia berkata kepada mbak-mbak di sudut gerbong lain, "Mba jangan pura-pura tidur dech, masa sich gak mau beli jeruk-jeruk yang manis ini" bla bla bla..... What!!! jam 01.30 dini hari begini mah bukan pura-pura tidur tau...memang tidur beneran kali.... !!! Dengan bahasanya yang terasa menyebalkan di telinga saya, pedagang jeruk itu wara-wari menjajakan dagangannya. Pantesan bapak-bapak yang duduk disebelah saya menyumpel telinganya. Saya lupa dengan music player yang saya bawa. Akhirnya sayapun mengenakan ear phone, daripada sebal sendiri dengan ocehan pedagang itu. Kalau pedagang lainnya sich masih wajar saja menjajakan dagangannya. Tapi salut juga sich dengan pedagang jeruk itu, dalam waktu kurang dari satu jam semua jeruknya habis. Walaupun menyebalkan, tapi dia sepertinya menjual semua dagangannya dengan cepat dan sesuai target. Begitu pedagang itu turun karena dagangannya telah habis, kereta jadi terasa lebih damai.

Begitu  memasuki wilayah Jawa Tengah bagian barat, kedamaianpun terusik lagi. Disinilah biasanya muncul pengamen bencong wer ewer ewer yang lebih mirip preman pake rok, tukang sapu asal-asalan yang cuma pura-pura nyapu gerbong kereta sambil meminta uang, rada memalak juga, atau pria-pria muda berbadan besar bertato dan bertampang preman yang menyemprotkan pengharum ruangan dan meminta uang juga. Hadeeehh.... Untung saya sudah menyiapkan uang recehan yang cukup banyak, karena dari sini sampai saya turun nanti, akan banyak peminta-minta dengan berbagai versi. Saya tidak keberatan berbagi recehan, cuma saya kurang suka jika memintanya dengan cara menyebalkan apalagi memaksa.

Tiga kali saya naik kereta ekonomi, saya sudah lebih familiar dan lumayan hafal dengan para pedagang beserta cara menjajakan dagangannya. Termasuk pengamen, peminta-minta, dan lainnya.
Saya harus menyesuaikan diri dengan semua itu tentu saja. Ibu saya bilang, kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Kadang kalau saya sedang kesal, saya berpikir, kenapa nggak orang lain saja sich yang menyesuaikan diri dengan kita? Wew, emang siapa lu?! wkwkwkwk
Dengan semua yang terjadi di KA eko, sejauh ini sich tidak membuat saya kapok naik KA eko. Lama-lama juga nanti terbiasa, walaupun badan pegeeelll, karena kursinya keras dan sempit.
Ngirit....paket ekonomi aja dech :)

Comments

A. Y. Indrayana said…
wah sama berarti tahun ini saya juga sedang tidak mudik ...
Unknown said…
naik motor saja.. :D
Rawins said…
kemaren nyobain
jebul ekonomi ac lebih nyaman timbang bisnis..
ria haya said…
saya mudik kok :D
ria haya said…
wew...ga bisa tidur euy...
ria haya said…
oh iya ya Kang, aku lom pernah nyoba
abis turunnya di Kroya sich ac eko, kadohan ko ngomah...

Popular posts from this blog

Tahukah Anda tentang Suku Sentinel ?

Kebunku

Ternyata namanya adalah Sero