Bayang yang Tak Pernah Hilang
Sudah dua puluh musim berlalu.
Waktu terus berjalan, tapi tidak semua luka sembuh olehnya. Beberapa luka hanya memilih diam, bersemayam tenang seperti bayang yang menari di tepi mata—tak pernah sepenuhnya hilang, meski tak selalu terlihat.
Aku bukan bagian dari cerita hidupnya yang terang. Aku bukan sosok yang ia panggil dengan yakin. Tapi di sela angin yang berbisik lembut, aku merasa ada kisah kecil yang pernah menyentuhku: bahwa mungkin, sesekali, aku adalah titik lembut di sudut matanya—kesunyian yang ia jamah tanpa suara.
Apakah itu nyata, atau hanya harapan yang bergaung terlalu dalam? Aku sendiri tak tahu. Tapi kata-kata yang tertinggal, sebagaimana embun pagi yang melawan dingin, membuatku ragu untuk pergi. Aku terjebak dalam pilihan yang samar—antara melangkah menjauh, atau tetap berdiri di persimpangan rasa yang tak punya ujung.
Ia hadir tanpa janji, tanpa tanda. Seperti angin yang tahu kapan harus datang membelai luka. Ia tak pernah menjanjikan apa pun—hanya hadir, sebagai kakak, sebagai pelindung tanpa mahkota.
Sekarang, ia telah memiliki dunia lain. Dunia yang ia rajut bersama teman sejiwa yang ia pilih. Ada rumah yang dipenuhi tawa bahagia—tawa yang tak akan pernah bisa aku gantikan.
Sementara aku?
Aku hanya menyimpan ruang sepi di dalam hati. Ruang yang sunyi tapi hangat, tempat kenangan berubah menjadi lilin kecil. Bukan untuk membakar, hanya cukup untuk memberi cahaya pada gelap yang pernah kurasa.
Kadang semesta menggodaku, bermain-main. Mengirimkan pesan-pesan kecil, yang cukup untuk membuat hati terdiam sejenak. Seperti bintang jatuh yang singgah sebentar di langit malam—hanya sebentar, namun mampu mengguncang seluruh kenangan.
Aku sudah bertemu banyak wajah. Tapi tak satu pun dari mereka mampu menggantikan diam yang dulu ia tinggalkan. Ia telah menanamkan sesuatu yang tidak bisa dipindahkan—sepotong keteduhan, yang tumbuh menjadi bagian dari jiwaku.
Malam-malam kadang terasa panjang dan kadang aku terbangun dalam sunyi, saat tiba-tiba teringat kenangan yang membuat sesak, hingga merambat perlahan ke ujung nadiku. Ada pertanyaan yang tak pernah selesai: "Sampai kapan aku harus menanggung sunyi ini?"
Rasa ini tak pernah kubagi pada siapa pun. Ia hidup sebagai senyap yang menua di dalam dada. Air mata menjadi satu-satunya bahasa yang jujur. Tak bersuara, hanya mengalir diam menyimpan getir. Sebab tidak semua luka butuh didengar. Ada luka yang hanya perlu dipeluk dalam diam—dibiarkan tumbuh menjadi bagian dari jiwa.
Mungkin ia tak pernah benar-benar tahu apa yang bergemuruh dalam hatiku. Atau mungkin… ia tahu, tapi membiarkannya tetap menjadi bisu.
Seolah memahami sesuatu dalam diamnya,namun memilih menjaga jarak seperti langit dan laut—dekat, namun tak pernah benar-benar bersentuhan.
Ada rasa yang tak pernah diucapkan,dibiarkan larut sebagai rahasia lembut antara aku, dirinya, dan Tuhan—tempat perasaan tinggal tanpa pernah dimiliki sepenuhnya.
Dan mungkin suatu hari nanti, ketika lelah menjelma pelukan, dan luka tak ingin lagi bersuara,semuanya akan usai dengan sendirinya.
Entah karena ia tak pernah tahu, atau justru karena ia tahu… tapi memilih diam. Diam yang suci, yang hanya Tuhan dan aku yang mengerti.
Kini aku tak menunggu. Tak menuntut. Aku hanya menjaga seberkas cahaya yang pernah menerangi lorong gelap dalam hidupku. Ia tak perlu kembali, dan aku pun tak perlu memilikinya.
Karena mungkin, ada jiwa-jiwa yang Tuhan titipkan ke hidup kita, bukan untuk dimiliki selamanya, melainkan untuk mengajarkan bahwa kadang… makna paling indah justru terletak pada yang tak pernah sempat kita genggam.
Comments