Bayang yang Tak Pernah Hilang
Sudah dua puluh musim berlalu. Waktu terus berjalan, tapi tidak semua luka sembuh olehnya. Beberapa luka hanya memilih diam, bersemayam tenang seperti bayang yang menari di tepi mata—tak pernah sepenuhnya hilang, meski tak selalu terlihat. Aku bukan bagian dari cerita hidupnya yang terang. Aku bukan sosok yang ia panggil dengan yakin. Tapi di sela angin yang berbisik lembut, aku merasa ada kisah kecil yang pernah menyentuhku: bahwa mungkin, sesekali, aku adalah titik lembut di sudut matanya—kesunyian yang ia jamah tanpa suara. Apakah itu nyata, atau hanya harapan yang bergaung terlalu dalam? Aku sendiri tak tahu. Tapi kata-kata yang tertinggal, sebagaimana embun pagi yang melawan dingin, membuatku ragu untuk pergi. Aku terjebak dalam pilihan yang samar—antara melangkah menjauh, atau tetap berdiri di persimpangan rasa yang tak punya ujung. Ia hadir tanpa janji, tanpa tanda. Seperti angin yang tahu kapan harus datang membelai luka. Ia tak pernah menjanjikan apa pun—hanya hadir...